Ismail Marzuki profile picture

Ismail Marzuki

esok lusa boleh kita jumpa pula

About Me

Dia lahir tanggal 11 Mei 1914, dan tutup usia tanggal 25 Mei 1958. sosok yang berkepribadian luhur, khususnya dalam bidang seni. Salah seorang putra terbaik Betawi ini memiliki bakat seni yang sulit dicari bandingannya.Ismail yang tergolong anak pintar, sejak muda senang tampil necis. Sore hari ia suka keliling kota dengan motor kebanggaannya, merek Ariel buatan Inggris. Bajunya disetrika licin, sepatunya mengkilat, dan ia senang berdasi.Tentu saja semua itu dimungkinkan karena Pak Marzuki ayah Ismail termasuk orang berkecukupan sebagai pegawai di perusahaan Ford Reparatieer TIO.Dari ayahnya pula kemungkinan besar Ismail mewarisi bakat musik. Pak Marzuki diketahui gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair yang bernapaskan Islam. (Lihat misalnya Ismail Marzuki-Komponis Pejuang, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Drs Jajang Gunawijaya MA & Drs Wiyoso Yudoseputro, Editor, 1997)Ismail sendiri sejak kanak-kanak sudah tertarik dengan lagu-lagu. Di rumahnya ada gramofon dan piringan hitam yang cukup banyak jumlahnya. Jenis lagunya sendiri sangat beragam, ada keroncong, jali-jali, cokek, gambus, dan sebagainya. Ismail juga tak segan mengeluarkan uang sakunya untuk membeli piringan hitam lagu Barat, khususnya Perancis dan Italia, yang sangat ia kagumi.Lalu kalau kemudian orang menemukan lagu-lagu ciptaan Ismail banyak yang berirama Latin seperti rumba, tango, dan beguine, itu juga karena Ismail sangat menyukai lagu-lagu berirama itu. Ismail sering menghabiskan waktu berjam-jam di muka gramofon dan setiap kali bersiul atau bernyanyi-nyanyi. Kalau teman-temannya datang ke rumah, topik hangatnya adalah lagu-lagu yang baru mereka dengarkan.Panggilan musik semakin menyusup dalam kehidupan Ismail setelah ia menyelesaikan pendidikan MULO atau setingkat SLTP. Ismail lalu bekerja di toko penjual piringan hitam, sebelum akhirnya masuk ke perkumpulan orkes Lief Java. Di sini ia menjadi pemain gitar, saksofon, dan akordion.Ketika Belanda membentuk Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM), orkes Lief Java juga diberi kesempatan mengisi siaran musik.Tentu saja dengan itu, Bang Maing semakin dikenal orang. Lebih-lebih setelah bakat dan jiwa musiknya berkembang luas. Selain makin banyak menggubah lagu, Ismail pun juga banyak menyanyi, dan suaranya banyak didengar dan dikenal masyarakat melalui NIROM.Meski sudah seperti tak terbendung, tak urung aktivitas seni Ismail sempat membuat khawatir ayahnya. Pak Marzuki rupanya berbagi dengan pandangan yang umum pada waktu itu, yaitu bahwa profesi seniman masih sering direndahkan. Misalnya, pemain sandiwara disebut "anak wayang", penyanyi disebut "buaya keroncong". Sebutan seperti itu tampaknya belum kena di hati Pak Marzuki.Di lain pihak, Ismail sendiri tidak terpengaruh oleh pencitraan yang diciptakan oleh Belanda tersebut. Untuk menegaskan tekadnya, setiap naik kelas ia malah selalu minta dibelikan alat musik-harmonika, mandolin, dan sebagainya-sehingga kamarnya dipenuhi berbagai alat musik. Memang, sebagai akibatnya, Ismail lalu jadi lebih terbuai oleh aneka alat musiknya itu daripada buku pelajaran.Warna penciptaanBakat dan semangat bermusik yang sangat besar, ketersediaan aneka instrumen musik yang bisa dia akses, keterbukaannya pada berbagai jenis musik dunia, serta lingkungan pergaulan, semua itu lalu menjadi lahan yang amat subur bagi Ismail untuk mengembangkan lebih jauh kesenangan main musiknya, dan-ini dia yang lebih penting-menggubah lagu.Peran ayahanda Ismail-di luar kesediaannya untuk memenuhi keinginan Ismail pada alat-alat musik-tidak kecil di sini. Di luar kerisauannya menyangkut tekad bermusik putranya, Marzuki sendiri terus mendorong agar Ismail juga tidak kehilangan kepekaan terhadap nasib bangsanya, dan berkembang tanpa dikotak-kotakkan oleh golongan dan kesukuan. Ini dapat menjelaskan, mengapa lagu-lagu Ismail Mz kaya akan semangat cinta dan penuh pujaan terhadap Tanah Air.Kepekaan Ismail pada perjuangan bangsanya lalu tercermin dalam alam penciptaannya. Karya pertamanya adalah O Sarinah yang dia ciptakan tahun 1931, jadi ketika usianya 17 tahun. Judul itu bermakna lebih dari sekadar nama seorang wanita, tetapi ia juga perlambang bangsa yang tertindas penjajah.Menurut penelitian tim penulis Dinas Kebudayaan DKI di atas, yang hasilnya menjadi rujukan tulisan ini, proses penciptaan Ismail Marzuki dapat dibagi dalam dua periode besar. Yang pertama Periode Hindia-Belanda (1900-1942), Periode Pendudukan Jepang (1942-1945), dan Revolusi (1945-1950-an).Dalam Periode pertama, musik jazz, hawaiian, seriosa/klasik ringan, dan keroncong, mulai populer seiring dengan makin terpaparnya warga di kawasan Hindia-Belanda dengan kebudayaan, termasuk musik Barat. Ismail pun tak lepas dari pengaruh tersebut. Setelah O Sarinah (1931), ia mencipta antara lain Keroncong Serenata (1935), Roselani (1936) yang membawa pendengarnya ke suasana Hawaii, dan setahun kemudian (1937), Ismail mencipta lagu-lagu berlatar belakang Hikayat 1001 Malam seperti Kasim Baba. Ismail mulai mengisi musik untuk film tahun 1938, tatkala ia mengarang tiga lagu untuk film Terang Bulan. Sesudahnya Ismail masih menghasilkan lagu-lagu dengan judul yang antara lain merupakan nama tempat, seperti Bandaneira, Olee Lee di Kutaraja, Lenggang Bandung, Melancong ke Bali (1939). Dalam Periode ini, Ismail belum menciptakan lagu-lagu perjuangan.Sementara selama Periode Penjajahan Jepang, Ismail aktif dalam orkes radio, yakni Hozo Kanri Kyeku (Radio Militer Jepang). Dalam Periode ini lahir sejumlah lagunya yang terkenal, seperti Rayuan Pulau Kelapa, Sampul Surat, dan Karangan Bunga dari Selatan.Sementara lagu-lagu perjuangan yang paling masyhur muncul semasa Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1950, antara lain Sepasang Mata Bola (1946), Melati di Tapal Batas (1947), Bandung Selatan di Waktu Malam (1948), Selamat Datang Pahlawan Muda (1949).Lalu, dalam tahun-tahun akhir kehidupannya, Bang Maing juga masih menghasilkan sejumlah lagu yang sangat terkenal. Sebutlah, misalnya, Candra Buana (1953), Payung Fantasi (1955), Sabda Alam (1956). Lagu terakhirnya yang tercatat adalah Inikah Bahagia? (1958).Dengan proses kreatif yang produktif dalam rentang 27 tahun menjadi komponis, Ismail Marzuki telah menciptakan lebih dari 200 lagu. Ada yang menyebutnya 202, ada juga yang mengatakan sekitar 250. Apa pun, dari jumlah itu, yang bisa dikatakan masih populer berjumlah sekitar 75. Dalam buku-buku yang disusun oleh RE Rangkuti, DS Soewito, dan GS Pardede, yang dimuat memang hanya 50 lagu terpopuler. Sementara lagu indah seperti Murai Kasih yang dinyanyikan dengan manis oleh Rien Djamain, atau Mari Bung, dan Keroncong Hasrat Menyala tidak tercantum dalam kumpulan lagu pilihan tersebut.Untuk semua dedikasi pada musik, perjuangan, dan kecintaan pada Tanah Air, Ismail banyak mendapat penghargaan seni. Misalnya saja anugerah dari Presiden Soekarno berupa Piagam Wijayakusuma 17 Agustus tahun 1961.Romantisme dan kritikGambaran umum tentang lagu-lagu Ismail Marzuki adalah perjuangan dengan romantismenya. Selendang Sutera yang diberikan gadis pujaan bagi pejuang merupakan suvenir yang menyertai kepergiannya ke medan tempur. Dan ketika lengan pejuang terluka parah, selendang sutera tersebut turut berjasa sebagai pembalut luka. Dalam lagu tersebut, kecuali unsur semangat juang, hal lain yang menonjol antara lain juga penguasaan bahasa liris Ismail. Di baris terakhir ia tulis: Cabik semata, tercapai tujuannya. Duh, memang selendang hanyalah secarik kain, namun alangkah besar makna dan manfaatnya.Akan tetapi, dengan semua yang telah diberikannya, Ismail Marzuki tak juga terbebas dari kritik. Kritik L Manik, meski disampaikan tanpa menyebut nama, mungkin termasuk yang sangat pedas. Dalam jurnal Zenit (No 3, th 1951) ia mengkritik lirik lagu Rayuan Kelapa.Menurut Manik, meski lagu itu mengambil inspirasi dari keindahan Tanah Air. Tetapi penggubahnya hanya sampai pada keindahan saja. Penggubah lagu tersebut masih berpikir dalam alam "Lief Indie", padahal itu alam pikiran yang menguntungkan penjajah di masa silam. Syairnya memang menggunakan perkataan yang bisa menimbulkan rasa kebangsaan dan kejayaan, suci dan luhur, tetapi lagunya lemah merayu, dengan konsepsi lagu yang dangkal.Jadi, meski lagu Rayuan Pulau Kelapa sukses dan banyak dinyanyikan, sebagai lagu Tanah Air dalam masa kebangunan bangsa, ia lemah.Memang, di tengah komunitas yang sebagian berpendidikan Eropa, dengan bekal disiplin musik klasik, sempat muncul penilaian, bahwa apa yang diciptakan Ismail berkategori "picisan", hanya cocok untuk selera orang kampung yang dianggap bukan golongan "intelektual".Musik memang sering dikaitkan dengan kata muse, atau muzen. Tetapi, apa yang dihasilkan Ismail disebut muizen atau tikus, malah blinde muizen atau tikus buta. Seperti dijelaskan oleh Firdaus Burhan yang menyusun karangan tentang Ismail Marzuki untuk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1983/1984, buta di sini untuk melukiskan Ismail yang tidak pernah sekolah di sebuah konservatorium di Amsterdam, tidak punya ijazah komponis, ijazah harmoni, kontrapunk, bel canto, dan sebagainya, tetapi berani membuat musik.Untunglah kritik yang dimuat di pers Belanda ini dapat ditahan oleh Ismail. Yang ironis, selanjutnya, di negeri yang sejumlah warganya pernah mengejek Ismail Marzuki, malah karya-karya putra Betawi ini terus dikenang. Pada bulan Mei seperti sekarang, lagu-lagu Ismail sering diperdengarkan di negara bekas penjajah itu.Kini, pada era reformasi demokratis, kritik terhadap karya Ismail Marzuki mungkin lepas dari masalah melodi atau musik pada umumnya. Yang dikritik adalah glorifikasi Ismail pada perjuangan fisik, pada pertempuran. Padahal, perjuangan Indonesia bukankah juga mencakup perjuangan diplomasi.Selain urusan puja-memuja Tanah Air-itu sendiri sebenarnya tidak buruk, apalagi dalam konteks masa sekarang ini, dimana orang banyak tak peduli urusan dan kepentingan bangsa-Ismail juga banyak mengangkat masalah sosial-kemasyarakatan yang hangat pada masanya.Dalam lagu Seruan Teruni, misalnya, Ismail sebel dengan seorang pria yang mengaku datang dari perjuangan, gagah-gagahan dengan uangnya, dan dengan itu seolah bisa berbuat apa saja. Mungkin saja di era sadar jender sekarang ini, ada yang tidak suka dengan lirik Sabda Alam. Tetapi, selain itu Ismail juga memotret hal lain yang mendalam. Lagu Tukang Becak Bang Samiun yang karena satu insiden marah-marah tapi dapat ditenangkan oleh saudara sebangsa yang cinta persatuan.Berterima kasihIndonesia beruntung punya sederet komponis besar seperti C Simandjuntak, Kusbini, Gesang, Iskandar, Sjaiful Bahri, Binsar Sitompoel, WR Supratman, L Manik, dan H Mutahar. Tetapi, Indonesia juga sangat beruntung memiliki seorang Ismail Marzuki.Tentu saja, Ismail Marzuki tidak bisa dianggap "seniman legendaris tak tertandingi", atau sebutan "terbesar" dan sejenisnya, karena, seperti pernah disampaikan oleh pemusik Suka Harjana, "dalam dunia seniman tidak ada yang paling besar."Sewajarnyalah demikian. Ismail Marzuki dikenang oleh bangsa Indonesia sebagai komponis yang hidup pada zaman perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Wacana bangsa Indonesia kini telah beranjak jauh dari apa yang sezaman dengan Ismail Marzuki. Kalaupun karya-karyanya masih terus hidup, itu karena ada pertalian sejarah dan perasaan kebangsaan antara warga RI, baik yang hidup pada zaman itu maupun yang hidup pada zaman sekarang.Di luar kritik dan perkembangan sejarah, satu hal yang Ismail tidak keliru adalah penuturannya tentang "kesediaan untuk berkorban jiwa raga", sesuatu yang pasti makin langka di tengah gelombang materialisme dewasa ini. *diambil dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0205/11/dikbud/mene33.htm